Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Admin yang terhormat, saya mau bertanya seputar fenomena yang terjadi di beberapa pesantren di sekitar tempat tinggal saya. Yaitu praktek shalat sunah Dhuha yang dikerjakan secara berjamaah. Bahkan sebagian pesantren ada yang menjadikan kegiatan tersebut sebagai rutinitas wajib yang harus diikuti oleh seluruh santrinya. Bagaimana fiqih menanggapi hal demikian?, terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Maimun Najib, Pasuruan.
_______________________
Admin– Wa’alaikumsalam Wr.Wb. Sebelumnya kami ucapkan terimakasih dan apresiasi kepada saudara Maimun Najib karena setidaknya Anda telah mampu bersikap kritis melihat apa yang terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal. Apalagi ini berkaitan dengan hukum agama.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa shalat Dhuha merupakan kategori shalat sunah yang tidak dianjurkan untuk dikerjakan secara berjamaah. Artinya, shalat Dhuha lebih baik dikerjakan sendirian (munfarid). Rumusan ulama dalam hal ini berlandaskan pada sebuah hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw melaksanakan shalat Dhuha sendirian. Abdurrahman Bin Abi Laila meriwayatkan:
مَا حَدَّثَنَا أَحَدٌ، أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى غَيْرُ أُمِّ هَانِئٍ فَإِنَّهَا قَالَتْ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ بَيْتَهَا يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ، فَاغْتَسَلَ وَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ، فَلَمْ أَرَ صَلاَةً قَطُّ أَخَفَّ مِنْهَا، غَيْرَ أَنَّهُ يُتِمُّ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
“Tidak ada seorangpun selain Ummi Hani’ yang mengabariku bahwa ia melihat Nabi Saw melakukan shalat Dhuha. Dialah yang menceritakan bahwa Nabi Saw pernah masuk rumahnya ketika masa penaklukan kota Mekah. Lalu beliau mandi dan mendirikan shalat delapan rakaat, dan aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat yang lebih ringan daripada itu, kecuali beliau menyempurbakan ruku’ dan sujudnya.”[1]
Meskipun konsep awal mengatakan demikian, pelaksanaan shalat Dhuha yang dikerjakan secara berjamaah tidak serta merta menimbulkan hukum makruh atas jamaah tersebut. Sebab secara umum, shalat-shalat sunah yang tidak dianjurkan untuk dilakukan secara munfarid (tidak berjamaah) tetap boleh dilaksanakan secara berjamaah. Namun dalam konteks ini, praktek yang demikian tetap saja menyelisihi terhadap hal yang lebih utama (khilaful afdhol).[2]
Bahkan, kalau praktek shalat Dhuha yang dilaksanakan secara berjamaah memiliki tujuan yang baik dan dapat dibenarkan menurut syariat justru akan menjadikan nilai pahala dari tujuan tersebut. Salah satu contoh tujuan yang baik yang dibenarkan menurut syariat adalah melaksanakan shalat Dhuha secara berjamaah dalam rangka mendidik dan membiasakan anak kecil atau para santri dalam masa pendidikan agar terbiasa melakukan shalat Dhuha. Dengan catatan, praktek tersebut dapat dibenarkan dan bernilai pahala apabila tidak menimbulkan unsur-unsur yang dilarang, misalkan meninggalkan perkara yang sudah menjadi kewajiban.
Dalam kitab Bugyah Al-Mustarsyidin, Habib Abdur Rahman Al-Masyhur berkata:
(مسألة : ب ك) تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِيْ نَحْوِالْوِتْرِوَالتَّسْبِيْحِ فَلَا كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلَا ثَوَابَ, نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنِ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ وَأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَّةِ الْحَسَنَةِ فَكَمَا يُبَاحُ الْجَهْرُ فِيْ مَوْضِعِ الْإِسْرَارِ الَّذِيْ هُوَ مَكْرُوْهٌ لِلتَّعْلِيْمِ فَأَوْلَى مَا أَصْلُهُ الِإْبَاحَةُ وَكَمَا يُثَابُ فِي الْمُبَاحَاتِ إِذَا قُصِدَ بِهَا الْقُرْبَةَ كَالتَّقَوِّيِّ بِالْأَكْلِ عَلَى الطَّاعَةِ. هَذَا إِذَا لَمِ يَقْتَرِنْ بِذَلِكَ مَحْذُوْرٌ كَنَحْوِ إِيْذَاءٍ أَوْ إِعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ الْجَمَاعَةِ وَإِلَّا فَلَا ثَوَابَ بَلْ يُحْرَمُ وَيُمْنَعُ مِنْهَاـ
“Diperbolehkan melaksanakan semacam shalat Witir atau shalat Tasbih secara berjamaah. Maka hal tersebut tidak manjadi makruh dan tidak pula mendapatkan pahala. Namun apabila praktek demikian bertujuan untuk mengajari/mendidik orang-orang yang sholat dan bertujuan memotivasi mereka, maka akan mendapatkan pahala. Dan setiap pahala juga diberikan atas niat atau tujuan yang baik. Misalkan mengeraskan bacaan pada shalat yang seharusnya dibaca secara pelan-pelan dengan tujuan pembelajaran, meskipun hukum asalnya adalah boleh (ibahah).
Begitu juga perkara-perkara mubah apabila diniati dengan dengan niat untuk mendekatkan diri pada Allah Swt maka juga mendapatkan pahala, contohnya adalah makan dengan tujuan menghasilkan kekuatan untuk mengerjakan ketaatan. Namun semua itu apabila tidak menimbulkan hal-hal yang dilarang seperti berdampak menyakiti orang lain atau menimbulkan prasangka orang awam bahwa sholat itu harus berjamaah. Apabila menimbulkan hal-hal yang demikian maka tidak mendapatkan pahala, bahkan menjadi haram.”[3]
Kesimpulannya, sholat Dhuha lebih baik dikerjakan sendirian. Namun boleh dikerjakan secara berjamaah, apalagi ketika memiliki tujuan yang baik dan benar, seperti mendidik dan memotivasi. Maka hal tersebut justru bernilai pahala dan sangat dianjurkan dalam syariat.
Sekian, waAllahu A’lam Bis Shawab. []
Refrensi:
[1] Shahih Al-Bukhori, juz 2 hal 58.
[2] Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, juz 4 hal 55.
[3] Bugyah Al-Mustarsyidin, hal 67. Cet. Al-Hidayah.
Post a Comment