Seakan tak kenal menyerah, begitulah bangsa ini dalam menghadapi rasuah. Berkali-kali badan antikorupsi yang dibentuk mengalami kegagalan, tidak lantas menjadikan putus harapan. Mulai PARAN hingga Operasi Budhi, dari KOTRAR sampai Opstib. Semua gugur, namun semangat tak lantas kendur. Dan, harapan yang memang tak pernah mati itu pun akhirnya berkobar kembali, ketika lembaga antikorupsi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk, 29 Desember 2003.
Di tengah cengkeraman korupsi yang semakin kuat, KPK muncul membawa semangat baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Melalui KPK, publik berharap banyak bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya sebatas impian. Dengan adanya KPK, bangsa ini yakin bahwa pada saatnya, korupsi akan benar-benar terberangus dari Bumi Pertiwi. Proses pembentukan KPK sendiri, diawali TAP MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Mengacu pada TAP MPR tersebut, DPR dan pemerintah kemudian
membuat UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Saat
pembahasan RUU itulah, muncul gagasan dari sebagian anggota DPR. Seperti
terungkap dalam buku “Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan,” mereka mengusulkan
untuk menambah bab tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tapi usulan itu ditolak. Argumentasinya ketika itu, karena
tidak logis menambah bab dalam RUU. Penambahan hanya bisa dilakukan atas satu
pasal atau ayat. Dalam buku tersebut, Ketua KPK periode pertama Taufiequrachman
Ruki, mengatakan, penambahan bab juga belum dikaji secara juridis maupun
semantik. DPR, akhirnya memang menolak usulan penambahan bab tersebut.
Alasannya, untuk membangun sebuah lembaga atau komisi yang diberi kewenangan
besar, tidak bisa dirancang dengan pemikiran sesaat. Harus dilakukan pengkajian
yang benar dengan segala aspeknya.
Meski menolak usulan penambahan bab, namun DPR setuju soal
pembentukan KPK. Karena itu, kemudian disepakati bahwa amanat pembentukan KPK
akan dimuat dalam aturan peralihan UU No. 31 Tahun 1999. Akhirnya,
berdasarkan Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, secara resmi KPK pun dibentuk. Sesuai amanat UU, lembaga
baru tersebut dibentuk satu tahun setelah UU tersebut disahkan. Dalam UU
disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara
tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi. Sebagai garda terdepan pemberantasan
korupsi, KPK memang diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara
profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Kelahiran KPK mewarnai babak baru pemberantasan korupsi di
Tanah Air. Karena berbeda dengan berbagai badan antikorupsi yang ada
sebelumnya, KPK merupakan lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun, termasuk pemerintah. Selayaknya lembaga antikorupsi di
berbagai negara, kemunculan KPK memang menjadi tumpuan. Bahkan tidak sedikit yang
berharap, bahwa KPK bisa menjadi seperti ICAC di Hong Kong atau CPIB di
Singapura, yang berhasil membawa kedua negara tersebut ke dalam perubahan
besar.
Dan itu, tentu bukan harapan kosong. Dalam perjalanannya,
kiprah luar biasa yang diperlihatkan KPK, justru menguatkan harapan tersebut.
Di tengah rintangan yang tidak kecil, KPK terus menunjukkan kinerja terbaiknya.
Di bidang penindakan, misalnya, KPK berhasil menyeret satu per satu pejabat
penting negeri ini ke meja hijau. Tidak hanya menteri, duta besar, gubernur,
bupati/walikota, anggota DPR/DPRD, atau pimpinan partai politik.
Bahkan, KPK pun berhasil “mengantar” besan seorang presiden
ke dalam penjara. Sementara di bidang pencegahan yang sifatnya jangka panjang,
banyak hal juga dilakukan. Antara lain KPK tak henti berinovasi dalam
menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Mulai dari pendekatan budaya, sosial,
hingga pendidikan, semua dilakukan. Berbagai gebrakan tersebut, semakin
meningkatkan kepercayaan publik terhadap KPK. Akibatnya, ekspektasi kian tinggi
dan dukungan terhadap KPK juga semakin menguat.
Dalam konteks
tersebut, ketika KPK menghadapi berbagai tantangan, publik meyakini bahwa itu
adalah bagian dari proses yang memang harus dilalui, terlebih dalam usia yang
masih tergolong muda. Membandingkan dengan ICAC, awalnya mereka juga menghadapi
tantangan yang sangat hebat. Setidaknya ICAC membutuhkan waktu lebih dari 30
tahun untuk mengubah Hong Kong yang awalnya merupakan negara paling korup di
kawasan Asia Pasifik menjadi salah satu negara yang tergolong bersih.
Kondisi demikian, persis seperti diungkapkan Plt Wakil Ketua
KPK Johan Budi. Menurutnya, dalam sebuah gerakan pemberantasan korupsi, satu
dasawarsa tentu waktu yang singkat. Karena keberhasilan pemberantasan korupsi
hitungannya bukan satu atau sepuluh tahun, tapi hitungan generasi. Dengan
begitu, memang tak ada alasan untuk bersikap pesimistis terhadap pemberantasan
korupsi. Apalagi KPK saat ini, sangat berbeda dibandingkan dengan badan
antikorupsi yang sebelumnya pernah dibentuk pemerintah.
Sebagaimana lembaga antikorupsi di seluruh dunia, KPK
bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari
kekuasaan manapun. Selain itu, dalam mengemban misinya, KPK juga dibekali
dengan kewenangan yang tidak dimiliki oleh badan antikorupsi yang pernah ada.
Yang tak kalah penting, tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak, pembentukan
KPK bukanlah ditujukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari
lembaga-lembaga yang ada sebelumnya.
Sebut saja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan
Kejaksaan Agung. Sebaliknya, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU
tersebut, KPK berperan sebagai trigger mechanism. Artinya, KPK berperan sebagai
pendorong atau stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga
yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Dengan demikian,
jika dalam perkembangannya, baik Polri maupun Kejagung menunjukkan kinerja
pemberantasan korupsi yang meningkat, hal itu bukan merupakan “ancaman” bagi
KPK. Sebaliknya, hal itu justru merupakan salah satu indikator bahwa peran
trigger mechanism yang diamanatkan UU tadi, sudah berjalan dengan baik.
Post a Comment