Terlahir dengan nama Muhammadun, Mbah Ma'shum kecil adalah putra bungsu dari pasangan H. Ahmad dan Nyai Qasimah. Beliau diperkirakan lahir pada sekitar tahun 1290 H atau 1870 M di lasem, Rembang. Menurut silsilahnya, Mbah Ma'shum masih memiliki hubungan darah dengan Sultan Minangkabau yang nasabnya bersambung hingga ke Rasulullah SAW. Mbah Ma'shum terlahir dari tiga bersaudara, memiliki dua saudara perempuan yaitu Nyai Zainab dan Nyai Malichah.
Ayah Mbah ma'shum, H. Ahmad adalah seorang yang sehari-harinya berprofesi sebagai pedagang atau pebisnis. Meski begitu, H. Ahmad juga merupakan seorang ayah yang sangat peduli dengan pendidikan agama bagi putra-putrinya. Tampaknya hal ini mengalir pula dalam darah Mbah Ma'shum di kemudian hari. Selain dididik langsung oleh ayahnya, Mbah Ma'shum kecil juga dikirim oleh orang tuanya untuk menimba ilmu agama kepada kyai Nawawi di Jepara.
Perjalanan Mencari Ilmu
Selain belajar ilmu agama kepada Kyai Nawawi di Jepara, Mbah Ma'shum juga dikenal suka mengembara untuk menimba ilmu agama ke berbagai pesantren di berbagai tempat. Tercatat ada belasan pesantren atau lembaga pendidikan agama yang beliau datangi untuk menimba ilmu, mulai dari kota Jepara bahkan hingga ke kota suci Makkah Al Mukarromah.
Pencarian ilmu Mbah Ma'shum Lasem diawali dari Jepara saat beliau belajar agama kepada Kyai Nawawi. Kemudian, beliau juga melanjutkannya dengan menimba ilmu kepada Kyai Abdullah, Kyai Abdul Salam, dan Kyai Siroj di Kajen, Kyai Ma'shum dan Kyai Syarofudin di Kudus, Kyai Umar Harun di Sarang Rembang, Kyai Idris di Solo, Kyai Dimyathi di Termas Pacitan, Kyai Ridhwan di Semarang, Kyai Hasyim Asy'ari di Jombang, Kyai Kholil di Bangkalan, hingga Syaikh Mahfudz At-Turmusi di Makkah Al Mukarramah.
Saat beliau nyantri kepada Mbah Kholil di Bangkalan, ada kisah menarik yang membuatnya mendapat julukan unik dari Mbah Kholil Bangkalan. Mbah Kholil sendiri sudah mengetahui keistimewaan dari Mbah Ma'shum muda sehingga menjelang kedatangannya ke Bangkalan, Mbah Kholil memerintahkan para santrinya untuk membuat kurungan ayam. Mbah Kholil juga berkata kepada para santrinya, "Tolong saya dibuatkan kurungan ayam jago, karena besok akan ada ayam jago dari tanah Jawa yang datang kesini".
Benar saja, keesokan harinya Mbah Ma'shum pun tiba di pesantren Mbah Kholil. Anehnya, Mbah Ma'shum yang saat itu masih berusia sekitar 20 tahun kemudian langsung dimasukan ke kurungan ayam itu. Mungkin sekilas ini kurang masuk akal, tapi dari peristiwa inilah julukan "Ayam Jago" beliau dapatkan Sang Maha Guru Ulama Nusantara tersebut.
Salah satu pendiri utama Nadhlatul Ulama 1926 adalah Guru Mulia Simbah Kyai Haji Maksum Bin Ahmad Lasem, atau biasa kita sebut sebagai Mbah Maksum Lasem. Beliau lahir pada tahun 1868 dan wafat pada tahun 1972.
Berdasarkan nasab dari ayahandanya, beliau merupakan dzuriyah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Dikenal sebagai pribadi yang jujur, mengayomi, dan senantiasa menjalin silaturahim, serta selalu menghormati tamu.
Ketika meletus pemberontakan PKI tahun 1965, ada salah satu anggota angkatan bersenjata yang berpihak pada pemberontak. Sehingga waktu itu menyebabkan pemerintahan Kota Lasem lumpuh total. Mbah Maksum segera bergerak. Beliau menyediakan pondok yang beliau asuh, Pondok Pesantren Al Hidayah menjadi pusat pemerintahan Kota Lasem.
Disulaplah kamar-kamar pondok dengan pintu tertutup dan jendela terbuka dengan senjata otomatis menghadap keluar, sebagai kewaspadaan jika setiap saat mendapat serangan dari pemberontak. Sehingga dengan demikian, beliau adalah orang yang paling ditarget untuk dibunuh oleh PKI.
Pada waktu itu, beliau sudah mencapai usia 97 tahun. Ketika kondisi semakin tidak menentu, beliau memaksa untuk ‘turun tangan’ langsung mengobarkan perang melawan PKI yang telah membunuh Ulama, Santri dan warga NU.
Dikisahkan, banyak santri yang berusaha mencegah beliau, mengingat usia beliau yang sudah mendekati satu abad, dan kondisinya tentu sudah tidak muda lagi. Namun, beliau bersikeras, sehingga akhirnya beliau keluar dari Lasem dikawal oleh beberapa santri pilihan sebagai pengayuh becak secara bergantian.
Tak tanggung-tanggung, perjalanan ini beliau tempuh dalam waktu dua bulan. Terus bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa berhenti hingga menembus beberapa wilayah di Jawa Timur. Alhamdulillah, beliau selalu dalam lindungan Gusti Allah SWT. Hingga akhirnya pemberontakan ini berhasil dipadamkan, dan kondisi bisa dipulihkan seperti sedia kala.
Kecintaan beliau kepada NU tertuang dalam maqolah beliau, “Jangan sekali-kali membenci NU. Siapapun yang membenci NU berarti membenci aku. Karena NU itu saya yang mendirikan bersama Ulama-ulama lainnya”.
Saat beliau nyantri di Bangkalan, bukannya menimba ilmu, Mbah Ma'shum juga malah diperintah oleh Mbah Kholil untuk mengajar kitab Alfiyah selama 40 hari. Uniknya lagi, pengajaran Mbah Ma'shum lakukan dari dalam sebuah kamar yang gelap tanpa diterangi lampu, sedangkan santri-santri yang mengikuti pelajarannya berada di luar. Terhitung hanya 3 bulan Mbah Ma'shum nyantri di Bangkalan, namun keilmuan dan kealimannya begitu diakui oleh sang guru.
Saat beliau hendak pulang meninggalkan Bangkalan, kejadian unik kembali dialami Mbah Ma'shum. Mbah Kholil tiba-tiba memanggilnya tanpa sebab apapun. Setelah mendekat, Mbah Kholil kemudian berdoa sapu jagad untuk Mbah Ma'shum. Setelahnya, Mbah Ma'shum melangkahkan kakinya untuk beranjak. Baru beberapa meter melangkah, beliau kembali dipanggil oleh Mbah Kholil dan didoakan lagi dengan doa yang sama. Kejadian ini terjadi berulang hingga 17 kali.
Mendirikan Pesantren dan Menjadi Pengajar Bagi Umat
Sebelum mendirikan pesantren, Mbah Kholil muda sempat menjadi pedagang baju menjajakan hasil jahitan istrinya, Nyai Nuriyah. Selain berdagang baju, konon beliau juga pernah berdagang nasi pecel, petromak, dan barang-barang lainnya. Beliau berdagang tidak hanya di sekitar Lasem, namun juga di tempat lain bahkan hingga ke pasar Ploso jombang. Meski begitu, beliau selalu meyempatkan waktu untuk mengajar umat dan memperdalam ilmu agamanya dengan mengunjungi pesantren Tebuireng untuk mengaji kepada Kyai Hasyim Asy'ari.
Suatu ketika, Mbah Ma'shum bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dan mendapat nasihat supaya berhenti dagang dan menjadi pengajar umat. Mimpinya tersebut terjadi selama beberapa kali sehingga pada akhirnya Mbah Ma'shum memutuskan dengan mantap untuk istiqamah mengajar dan menetap di Lasem. Beliau kemudian mendirikan pesantren yang diberi nama Pesantren Al-Hidayat.
Pesantren milik Mbah Ma'shum ini semakin berkembang seiring dengan jumlah santri yang semakin banyak. Namun sayangnya saat terjadi agresi Belanda pada tahun 1949, pesantren sempat vakum karena Mbah Ma'shum harus ikut mengungsi sembari menunggu situasi kondusif dan aman kembali.
Selama mengajar, Mbah Ma'shum banyak berperan aktif langsung dalam pendidikan santri-santrinya. Beliau juga selalu menanamkan sikap disiplin dan istiqamah, sebab istiqamah itu lebih utama ketimbang seribu karomah. Dalam mengajar, beliau memiliki kebiasaan mengulang-ulang beberapa kitab yang beliau ajarkan. Jika sudah khatam, beliau ulangi dari awal lagi hingga berkali-kali khatam. Kitab-kitab yang sering beliau kaji di antaranya yaitu Fathul Qarib, Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, al-Hikam ibn Athaillah, dan Ihya Ulumiddin.
Ketika telah berusia lanjut, santri- santri yang datang kepadanya umumnya punya tujuan utama selain menuntut ilmu, yakni tabarrukan atau mengambil barokah spiritual dari beliau. Banyak di antara murid-murid beliau yang di kemudian hari menjadi Kyai-Kyai besar, di antaranya yaitu Kyai Abdullah Faqih Langitan, Kyai Abdul Jalil Pasuruan, Kyai Bisri Mustofa Rembang, Kyai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, Kyai Ahmad Saikhu Jakarta, dan lain-lain.
Selain mengajar para santri, Mbah Ma'shum juga mengabdikan hidupnya kepada masyarakat, terutama kaum papa. Bahkan beliau menganggap pengabdiannya ini sebagai laku tarekatnya. Mbah Ma'shum memang dikaruniai umur panjang. Hingga akhir hayatnya, beliau juga turut berperan dalam membesarkan NU. Beliau juga sering dimintai nasehat dan doanya jika ada urusan penting di tubuh organisasi ini.
Wafatnya
Setelah cukup lama berjuang, tepat pada tanggal 12 Ramadhan 1932 H atau 20 Oktober 1972 M beliau akhirnya berpulang ke hadirat Yang Kuasa. Berkaitan dengan hal ini, seorang ahli sejarah terkenal, Denys Lombard pernah mengatakan, "Mbah Ma'shum adalah seorang guru (Kyai) dari Lasem yang kurang dikenal di tingkat Nasional, namun kematiannya pada tahun 1972 menimbulkan guncangan hebat dari satu ujung jaringan ke ujung jaringan lainnya".
Demikianlah, meski telah lama wafat, hingga kini nama Mbah Ma'shum Lasem masih tetap dikenang sebagai seorang Kyai, guru, dan pengajar umat sebagaimana Ulama-Ulama besar lainnya di bumi Nusantara ini. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari perjalanan hidup beliau. Diolah dari berbagai sumber.
Post a Comment