Dalam teori fiksi hukum, ketika suatu peraturan sudah ditetapkan atau
diundangkan maka pada saat itu pula setiap orang dianggap sudah tahu (presumption
iures de iure) dan ketentuan ini berlaku mengikat sehingga ketidaktahuan
seseorang tidak akan dimaafkan atau tidak dapat membebaskannya dari jeratan
hukum (ignorantia jurist non excusat). Maka tidak ada alasan bagi kita
untuk terhidar dari hukum di mana negara kita menganut teori fiksi hukum.
Korupsi tidak diragukan lagi
sebagai salah satu bentuk kejahatan. Kejahatan ini berdampak pada
ketidakpercayaan publik, baik yang dilakukan oleh pejabat publik maupun swasta.
Korupsi memberikan dampak negatif bagi berbagai sendi kehidupan, tidak hanya perekonomian,
namun juga politik dan dampak sosial masyarakat. Korupsi telah menjadi musuh
bersama dan secara global telah disepakati bahwa korupsi sebagai masalah serius
yang mengancam stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan lembaga-lembaga
dan nilai demokrasi, nilai etika dan keadilan serta mengancam pembangunan
berkelanjutan dan supremasi hukum.
Pencegahan dan pemberantasan
korupsi merupakan tanggung jawab semua negara dan semua pilar baik organisasi
pemerintah, swasta maupun organisasi kemasyarakatan.
Berdasarkan perspektif yuridis di Indonesia, jenis-jenis korupsi adalah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yakni yang terakhir
sebagaimana diatur dalam UU No. 20/2001 tentang Perubahan UU No. 31/1999
tentang Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan UU 31/1999 jo UU 20/2001 Korupsi
dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat
dikelompokkan menjadi 7 jenis, yakni:
Kerugian
Negara
Delik yang terkait dengan kerugian negara yaitu pasal 2 ayat 1 dan pasal 3
- Penyuapan
Delik pemberian sesuatu/janji kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara diatur dengan beberapa pasal dianataranya Pasal 5 (1) a, b; Pasal 13; Pasal 5 (2); Pasal 12 a, b; Pasal 11; Pasal 6(1)a, b; Pasal 6(2) serta Pasal 12 c, d. - Gratifikasi
Diatur dalam Pasal 12B jo Pasal 12C - Penggelapan dalam Jabatan
Diatur dalam Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 a,b,c - Pemerasan
Diatur dalam pasal 12 huruf e,f,g - Perbuatan Curang
Diatur dalam pasal 7(1) a,b,c,d; Pasal 7 (2); Pasal 12 h - Konflik kepentingan dalam
Pengadaan
Diatur dalam pasal 12 huruf i
Kenapa Korupsi masih saja terjadi padahal hukuman pasalnya bisa seumur
hidup?
Berdasarkan teori “Fraud Triangle” dari Donald R. Cressey, seseorang
melakukan korupsi jika dia memiliki: (Cressey, Donald R. 1955.)
- Rasionalisasi
(Pembenaran)
Pelaku mencari alasan pembenaran atas tindakan korupsinya, misalnya: untuk membahagiakan keluarga dan orang-orang yang dicintainya dalam kehidupan materi sebagaimana yang dilihatnya dalam kehidupan tetangga atau orang-orang yang dikenalnya. Masa kerja pelaku sudah lama dan merasa berhak mendapatkan lebih dari yang apa telah diperoleh sekarang, dan dari yang diperoleh orang lain. - Opportunity (kesempatan)
Adanya kesempatan/peluang memungkinkan fraud/kecurangan/korupsi terjadi. Seseorang yang korupsi mengatakan “Ada kesempatan bagi saya untuk mendapatkan uang/benda yang diinginkan, mengapa tidak”? Kesempatan ini terjadi di kantor, perusahaan, sekolah, organisasi sosial, organisasi olahraga, seni, budaya, dan sebagainya. Kesempatan ini digunakan orang yang nilai hidupnya hanyalah mengejar kekayaan karena nurani dirinya tidak juga mampu mengendalikan nafsunya. Hal ini terjadi karena internal control/pengawasan suatu organisasi dan masyarakat lemah. - Pressure (Tekanan)
Dorongan dari lingkungan dan kebiasaan hidup di luar kemampuan (besar pasak dari tiang) dan juga keserakahan (keinginan memiliki kekayaan yang tak terbatas) yang menyebabkan seseorang korupsi. Contohnya hutang atau tagihan yang menumpuk, gaya hidup mewah di luar kemampuannya, ketergantungan narkoba, mempertahankan harga diri yang keliru.
Di antara ketiga
poin di atas, ada satu hal yang juga sangat mempengaruhi pribadi seseorang
untuk tetap melakukan korupsi, yaitu integritas.
Post a Comment