Kyai Djoyo Ulomo 1875M
ALMAGHFURLAH KH.Raden Rahmad Djoyo Ulomo merupakan salah satu kiai sepuh di provinsi Lampung yang sangat kharismatik. Ketokohannya dalam dunia pesantren dan salah seorang mursyid thariqoh yang masyhur menjadi daya tarik tersendiri.
Ulama yang lahir di sebuah pedalaman desa kecil, tepatnya di Banjar Melati, Pare, Kediri, Jawa Timur pada tahun 1875, itu telah tertanam sifat kesederhanaan yang diajarkan oleh keluarganya. Hingga beranjak dewasa sekalipun, sifat tersebut tetap melekat dalam diri beliau.
Semasa remajanya, Kiai Djoyo Ulomo dihabiskan untuk menimba ilmu diberbagai pondok pesantren di Jawa Timur. Diantaranya Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Kedung Lo, Pesantren Bandar Kidul dan di tempat Kiai Fattah Tulung Agung Jawa Timur.
Pada tahun 1958, karena beberapa sebab Kiai Djoyo Ulomo hijrah dari Jawa ke Pulau Andalas, julukan untuk pulau Sumatra. Beliau ditemani oleh istri tercinta dan putra keduanya yaitu kiai Mashuri muda. Setelah sampai di Pulau Andalas daerah yang pertama kali disinggahi adalah Desa Rama Puja, sebuah perkampungan yang masuk dalam kategori pemukiman baru untuk para transmigran, di wilayah Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur.
Di tempat yang baru, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga, Koai Djoyo Ulomo menanam tebu sekaligus membuat gula merah dengan proses penggilingan yang dilakukan dengan cara tradisional yaitu menggunakan sapi. Setelah beberapa tahun, keluarganya menanam singkong, padi, jagung, selain bertanam tebu. Kiai Djoyo Ulomo sangat aktif dalam kegiatan masyarakat baik sosial maupun keagamaannya. Sehingga seakan–akan Lampung dijadikan“ ladang amal” oleh beliau. Kehidupan Kiai Djoyo Ulomo sepenuhnya didedikasikan untuk berjuang di jalan Allah.
Kiai Djoyo Ulomo lalu merintis pusat pendidikan Islam di Desa Raman Puja, yaitu mendirikan sebuah pondok pesantre yang dijadikan pusat kegiatan sosial dan keagamaan. Di tempat itulah kelak menjadi cikal bakal berdirinya sebuah Pesantren Tri Bakti At-Taqwa, yang ada di Lampung Timur. Dalam menyampaikan keilmuannya kepada masyarakat maupun santri, Kiai Djoyo Ulomo sangat mirip dengan apa yang dilakukan oleh para wali songo. Salah satunya yaitu dengan memberikan wasiat berupa petikan-petikan kalimat sederhana (sepele) berbahasa Jawa, yang kini orang menyebutnya dengan istilah falsafah jawa.
Kalimat sederhana yang masyhur selama Kiai Djoyo Ulomo hidup, baik di kalangan santri maupun masyarakat adalah, “ Bismillah, janji betah, oleh upah”, (dengan menyebut nama Allah, asalkan betah pasti akan mendapat hasil). Sepenggal kalimat itu merupakan mantra yang dijadikan Kiai Djoyo Ulomo untuk memotivasi para santri dan juga masyarakat.
Di samping kiprah dan perjuangan beliau di bidang keagamaan dengan mendirikan pesantren, beliau juga aktif dalam di organisasi NU. Diantara kiprah beliau pada jamiah NU, pada tahun 1970-an Kyai Djoyo Ulomo pernah menjadi salah satu dewan syuriah di PCNU Lampung Tengah. Dakwah beliau di luar pesantren juga cenderung dengan pola thoriqoh qodiriyah wa naqsabandiyah.
Pesan kearifan lokal lain dari kiai kharismatik Djoyo Ulomo yang hingga kini masih terus diamalkan oleh parac penerusnya adalah “sing wes yowes, sing durung yo diati-ati”, (yang sudah biarlah berlalu, yang belum agar berhati-hati). Pada tahun 1989, tepatnya hari Senin 12 Desember , Kyiai Djoyo Ulomo wafat dalm usia 114 tahun. Hingga kini makam beliau berada di komplek Pondok Pesantren Tri Bhakti At-Taqwa , dekat pengimaman pesantren.
(Sunarto/ dari buku “jagad spiritual KH Djoyo Ulomo)
Post a Comment