Madeline Crawford keluar dari rumah sakit, memegang hasil tes di tangannya yang gemetaran. Air mata menggenang di matanya, namun tidak bisa dipastikan apakah dia senang atau sedih.
“Miss Crawford, Anda hamil.” Sekali lagi, kata-kata dokter tadi terngiang di telinganya.
Tiga bulan yang lalu, ia menikahi Jeremy Whitman; tuan muda pertama dari sebuah keluarga bergengsi yang menjadi sumber rasa iri di seluruh Glendale.
Pada hari pernikahan mereka, setiap wanita di kota ini sangat iri dengannya. Ia juga berpikir kalau ia adalah gadis yang paling bahagia dan paling beruntung di muka bumi.
Sejak ia bertemu Jeremy saat ia berusia sepuluh tahun, sebuah bibit telah tertanam di hatinya.
Dalam usaha membuat dirinya sederajat dengan Jeremy dan kembali mencuri pandang ke arahnya dalam kerumunan, ia bekerja keras untuk memperbaiki dirinya selama dua belas tahun penuh.
Ia selalu merasa bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Ia seperti anak liar yang tumbuh besar dalam reruntuhan. Bagaimana bisa ia punya hubungan semacam ini dengan pria seperti Jeremy?
Akan tetapi, tidak tahu pasti apakah ia diberkahi Tuhan, atau apakah Dewa Nasib sedang bercanda dengannya. Tiga bulan lalu, ia menghadiri pesta ulang tahun temannya. Pagi harinya, saat terbangun, ia melihat Jeremy terbaring di sebelahnya.
Noda merah di sprei yang bersih terlihat sangat mencolok mata. Menggambarkan apa yang terjadi antara dirinya dan Jeremy pada malam sebelumnya.
Sebelum ia bisa memahami situasinya, terdengar ketukan di pintu diikuti serombongan wartawan yang memblokir jalan keluar. Mereka tidak sabar untuk menerbitkan berita tentang Jeremy yang menghabiskan malam bersama seorang wanita misterius.
Keluarga Whitman adalah keluarga paling sukses di Glendale. Terbukti bahwa mereka adalah keluarga aristokrat dengan reputasi tak tercela. Old Master Whitman adalah orang tua konservatif. Setelah ia mengetahui tentang skandal itu, ia segera mengumumkan pernikahan antara Jeremy dan Madeline.
Semuanya seperti mimpi bagi Madeline. Namun, itu bukan mimpi yang indah.
Jeremy tidak mencintai dirinya sama sekali. Sebaliknya, pria itu memandang rendah dirinya. Jeremy membencinya. Membencinya karena ada dan membuatnya mengecewakan gadis yang dicintainya, Meredith Crawford; yang juga adalah saudara perempuan terkasih Madeline.
Apapun itu, Madeline mengumpulkan keberanian untuk menelepon Jeremy.
Seperti bisa diduga, panggilan teleponnya ditolak. Maka dari itu, dengan ragu-ragu ia hanya bisa mengirim pesan singkat untuk mengatakan bahwa ada sesuatu yang harus dia bicarakan dan berharap Jeremy bisa datang ke rumah malam itu.
Pernikahan mereka sudah berjalan tiga bulan sekarang, tapi Jeremy tidak pernah bermalam di rumah. Madeline selalu sendirian di dalam kamar tidur, dan ia tahu persis di mana suaminya menghabiskan malam.
Jeremy tidak mengangkat teleponnya, dan tidak membalas pesan singkatnya. Hati Madeline menjadi dingin; ia tahu Jeremy tidak akan pulang ke rumah lagi malam ini.
Dengan kesimpulan ini, ia mandi dan sudah bersiap untuk tidur saat pintu dibuka dengan kasar diiringi dengan suara yang sangat keras.
Ia mengangkat kepalanya dan merasa takut saat ia melihat seraut wajah tampan tapi dingin itu. Jantungnya mulai berdetak tak terkendali.
“Jeremy, kau pulang,” dengan hati-hati ia memanggil namanya. Wajah bersihnya menyunggingkan seulas senyum tipis.
Tapi ternyata, saat ia mendekati Jeremy, pria itu mencengkram lengannya dan dengan kasar melemparnya ke tempat tidur.
Sendi-sendi jari tangannya terlihat berbeda saat Jeremy memaksa untuk mencubit dagu Madeline. Matanya penuh dengan aura kemabukan dan amarah.
“Madeline, kau sangat menyukai itu, bukan? Sampai ke titik dimana kau memanjat tempat tidurku memakai cara yang sangat menjijikkan, hah?” suara Jeremy begitu menarik. Di dalam suaranya terdapat kebencian dan ejekan.
Wajahnya memucat saat ia menatap pria yang telah dicintainya selama dua belas tahun dan pada saat yang bersamaan hatinya berdenyut oleh luka.
“Jeremy, kau salah sangka terhadapku…”
“Salah sangka terhadapmu?” pria itu menatapnya dengan hina dan terkekeh dalam-dalam. “Madeline, kenapa kau masih berpura-pura?”
Setelah ia mengatakan itu...
Post a Comment