KH. Sa’doellah Nawawei (yang selanjutnya kami tulis ‘Kiai Sa’doellah’) lahir di Sidogiri pada tahun 1922 M. Beliau terlahir sebagai anak ke dua dari empat bersaudara, dari pasangan KH. Nawawie bin Noerhasan Sidogiri (Kiai Nawawie sepuh) dan Nyai Asyfi’ah.
Kiai Nawawie, abahnya, adalah ulama besar yang menjadi salah seorang pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Pengasuh Pondok Pesantren ini juga ikut andil dalam pembuatan lambang organisasi Islam terbesar di dunia ini.
Yakni, setelah para ulama mendirikan NU, Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari menyuruh KH. Ridlwan Surabaya untuk membuat lambang NU. Lewat istikharah, Kiai Ridlwan mendapat isyarah gambar bumi dan lambang bintang sembilan. Hasil itu segera ia laporkan pada KH. Hasyim Asy’ari. Kata Kiai Hasyim, “Gambar ini sudah bagus. Tapi saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawie Sidogiri, Pasuruan untuk meminta petunjuk lebih lanjut.”
Kiai Ridlwan memenuhi dan mengutarakan maksudnya pada Kiai Nawawie Sidogiri yang di kalangan ulama saat itu dikenal sebagai kiai yang waskita (mukasyafah). Beliau menjawab dalam bahasa Jawa, “Saya setuju dengan gambar bumi dan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya. Dan juga ditambah tulisan ayat, “Wa’tashimu bihablillahi jami’an wa la tafarraqu” (QS. Ali Imron: 103).
Kiai Nawawie juga meminta agar tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat agak longgar. Setelah lambang itu disahkan, Kiai Nawawie dihadapan kiai-kiai berkata, “Selagi (filosofi) tali yang mengikat bumi itu masih kuat, maka sampai kiamat NU tidak akan habis dan selalu ada.
Kembali ke Kiai Sa’doellah, dibandingkan saudara-saudaranya, sejak kecil beliau bisa dibilang aneh. Saat kecil, beliau sangat dekat pada abahnya, Kiai Nawawie. Sangkeng dekatnnya, apa saja yang dilakukan abahnya beliau tiru. Dan setiap kali abahnya bepergian, beliau mengikutinya dari belakang. Selain itu, Kiai Nawawie memberi perhatian penuh padanya.
Pada masa revolusi memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kiai Sa’doellah mempuunyai peran penting dalam memobilisasi rakyat guna membendung invasi asing yang menjajah bumi Nusantara. Bahkan dengan sigap penuh keberanian beliau mengangkat senjata dan memimpin pasukan untuk mengusir kolonial Belanda dari Bumi Pertiwi.
Mulai 10 Oktober 1945 sampai 1 Januari 1946 beliau bergabung dengan front perlawanan Hizbullah selaku komandan Kompi II untuk Divisi Timur. Tentara yang dipimpin sekitar 250-an yang bermarkaz di Sidogiri. Beliau bersenjatakan keris dan Pegas, sejenis pistol.
Menurut pandangannya, agresi Belanda harus dihadapi dengan berperang. Memerangi Belanda adalah peperangan suci untuk membela tanah air dari invasi kaum kafir.
Dengan ketegasan dan kedisiplinan seorang militer, Kiai Sa’doellah memimpin pasukannya dengan strategi yang matang dalam bergelirnya. Kepiawaiannya dalam memimpin pasukan sangat dikagumi oleh pasukannya, sehingga mereka sangat patuh terhadap semua perintah Kiai Sa’doellah. Bahkan pada tahun 1946 ketika berumur 24 tahun, beliau dan pasukannya ada di Tulangan Sidoarjo untuk mempertahankannya dari serangan Belanda. Dalam pertempuran itu, mereka kadang harus maju dan kadang terpaksa mundur untuk menyusun strategi.
Semangat dan keberanian Kiai Sa’doellah dalam berjuang sangat tinggi, sehingga tidak mementingkan diri sendiri. Kesehariannya rela ada di mana-mana, bergerilnya dan bertempur di medan perang. Pernah beliau pergi ke Semarang, Yogyakarta dan tanah Betawi untuk mengahadapi agresi Belanda, dengan menunggang sesekor kuda dan memegang cemeti. Sedangkan pasukannya diangkut dengan truk.
Untuk menyemangati pasukannya, sebelum berangkat berperang, Kiai Sa’doellah membakar semangat mereka dengan orasinya yang menggebu. Beliau mengintruksikan pada semua pasukannya agar jangan takut dan susah. Walau digertak bagaimanapun juga oleh Belanda, jangan sampai ada yang menyerah.
Ayat al-Quran yang sering disampaikan pada pasukannya adalah, “Kullu nafsin dza’iqatul al-maut” (QS. Ali Imran: 185). Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Menurut beliau, “Walau bagaimanapun juga, setiap manusia pasti akan merasakan kematian. Jadi jangan sampai takut mati dan susah. Pantang mundur, san terus maju!”.
Perjuagan beliau sangat sistematis dan taktis. Diceritakan bahwa suatu ketika, untuk mengacaukan daerah kekuasaan Kiai Sa’doellah, musuh (Belanda) menyebarkan isu bahwa gagak hitam akan menyerang daerahnya. Mendengar isu itu, Kiai Sa’doellah juga menyebarkan isu bahwa gagak putih akan melawan gagak hitam itu.
Untuk membakar semangat pasukan di medan tempur, dengan penuh keberanian beliau ada di garis depan dan memekikkan kalimat, “Allahu Akbar!!!”. Konon keanehan terjadi setiap kali beliau membaca takbir. Yaitu langit menjadi mendung gelap, sehingga Belanda tidak bisa melihat dan merasa gentar. Takut untuk menghadapi tentara Islam.
Dikalangan pasukannnya, beliau dikenal sebagai sosok yang pemberani. Sehingga beliau pernah masuk ke markaz gudang penyimpangan senjata Belanda yang bertempat di Pasuruan, bersama KHR. As’ad Syamsul Arifin Situbondo, santri sekaligus anak buahnya dalam pertempuran.
============================
Disadur dari buku "Jejak Langkah Masyaikh Sidogiri (1)" terbitan Sidogiri Penerbit.
Post a Comment