"Tu kaaan...."
Aku tunjukkan hasil testpack bergaris dua. "Nih." Perasaanku campur aduk. Mas Aris menatap testpack yang kuberikan, refleks dia berkata, "Lho...
terus gimana?"
"Terus gimana, terus gimana! Ya hamiiil!"
Kututup pintu kamar mandi sambil menggerutu. Rasa kaget dan gelisah berkecamuk dalam diri.
Ini adalah hamil keduaku. Aamir sulungku baru saja berusia 10 bulan. Kehamilan ini terlalu dekat.
Aku masih bercita-cita bisa lahiran spontan, tapi sepertinya semak in tipis kesempatan untuk itu. Aku mencuci tangan di wastafel, menghadap ke cermin dan mendesah panjang. "Haduuuh...."
Peran menjadi ibu baru saja berjalan sepuluh bulan, dan aku masih merasa belum nyaman.
Post partum syndrome atau entah apalah, masih terus menghantui. Aku acap kali merasa gelisah, dan haltersebut acap kali membuatku menangis sendirian, di malam hari,di siang hari,di setiap sholat-sholatku.
Aku kerap dibayangi perasaan gagal karena tidak bisa melahirkan spontan.
Hal ini membuatku merasa sangat sedih. Terbayang masa ketika aku menyerah pada sakitnya kontraksi.
Itu adalah pengalaman pertamaku melahirkan. Proses pembukaan sudah berjalan dua hari di rumah sakit. Kontraksi palsu datang semakin rapat.
Ya Rabb, sakitnya.
Mules hadir bertubi-tubi, tak kunjung berakhir. Berulang kali kusampaikan permintaan maaf pada Mama yang berada disampingku. Mama sengaja mengunjungi dan mendampingiku menjalani proses kelahiran cucu pertamanya.
Aku akhimya paham, luar biasa perjuangannya melahirkan.
Tiba saatnya aku tak kuasa menahan sakit. Sendi sendi tulang panggulku terasa diremas tanpa ampun. Nyeri hebat. Mules bukan main.
Dokter memanduku mengejan. Hingga aku kepayahan, tiga kali rasa mules super dahsyat itu datang sangat rapat. Aku tak kunjung berhasil menemul bayiku.
Aku mulai frustrasi.
Mas Aris, yang berada di sisi sebelah kiri juga hadir menggenggam tangan dan menyemangatiku mulai menangis. sudah ya, Mbi... mau ya, operasi saja, ya?
Sakitnya cuma sebentar kok kalau operasi.
Aku melihat air matanya mengalir. Aku pun menangls, entah lnl air mata karena saklt yang sangat atau terharu, larut dalam isakan suamiku. Sangat jarang aku menyaksikan mas Aris menitikan air mata.
Akhirnya aku menurutinya, bersedia melakukan bedah sesar.
***
Luka operasi belum sembuh, lelah dan hormon yang terkuras selama dua hari menjelang pembukaan membuat aku merasa tak keruan.
Terlebih saat menyadari Mas Aris tak akrab dengan bayiku. "Kan anaknya," pikirku.
Dia membersamaiku saat aku meronta kesakitan. Saat aku berusaha melahirkan anaknya.
Dia menangis bersamaku. Tapi kenapa saat anaknya lahir,dia tak mau menyentuh bayinya?
Sebagai bapak baru, Mas Aris rupanya takut menggendong bayi yang baru lahir. Kemungkinan, dia takut jika sentuhannya yang ragu-ragu akan membahayakan si mungil Aamir.
Inl momen pertamanya menjadi ayah. Aku tahu benar dla sangat mencintai bayinya.
Namun yang membuat aku sebal, dia kerap menghilang! Dia menghilang ke masjid setiap jam masuk sholat.
Entah kenapa perasaan ini terus muncul. Aku kesal dia tak selalu ada disampingku. Saat aku masih tergolek lemas oleh Iuka operas!. Waiau ada mama disampingku, aku tetap merasa membutuhkanya. Aku berharap dia lebih peka terhadap perasaanku yang gundah karena gagal melahirkan secara spontan.
Pun setelah pulang dari rumah sakit. Aku merasa sendirian saat merawat bayikecilku. Setiap kali aku terbangun malam, ayah dari anakku tak di sisiku.
Kudapati ia sedang semangat-semangatnya belajar.
Belajar agama.
Kala itu, aku belum memiliki asisten rumah tangga. Sekuat tenaga kulawan kegelisahanku. Aku suka protes kalau Mas Aris pulang kerja hingga malam hari. Aku selalu memintanya untuk pulang lebih sore. Aku tak berani sendirian dirumah bersama bayiku.
Diamengiyakan denganenggan. Pulangsebentar, mandi, kemudian pergi ke masjid menunaikan sholat maghrib. Mas Aris akan berdiam di masjid hingga isya, terkadang sampai pukul sepuluh bila ada kajian.
Huuh... sama saja aku seperti sendirian hingga malam hari.
Aku yang sebelumnya terblasa penuh aktivltas, benar-benar merasa bosan dirumah.
Aku menikah muda di usia dua puluh tiga tahun. Pilihanku memang, dan aku bahagia kala itu. Kebahagian kurasakan berlipat ganda dengan kabar kehamilanku . Aku terpaksa menlnggalkan pekerjaan karena kehamilanku membuat kondisi tubuh melemah.
Rencana awal, selepas melahirkan aku ingin kembali bekerja, kembali eksis di pergaulan, dan kembali menikamati sunset di tepi pantai.
Ternyata selepas subuh di mushola dia ada kajian kecil para bapak bapak penghuni perumahan. Liqo namanya.
Aku meradang.
Aku merasa sendirian. Dia belajar sendiri. Aku tak diajak. Aku dltinggalkan.
Aku seba I!!!
Tapi kekesalanku membuatku rungsing pada diri sendiri. Dia menuju pada kebaikan, meninggalkan semua kebiasaan buruk kami, kenapa aku tidak mendukung?
Dua sisi kepalaku baik dan buruk seperti sedang berdebat. "Serius kamu bete gara-gara Mas Aris sholat lima waktur "Gila tu! Aku dukunglah! Tapi kenapa dia asyik sendiri? Kenapa dia sering hilang dari rumah?
Kenapa dia nggak mau ajak aku sholat? Bangunin aku subuh? Imamin akuuu??!!! Kenapaaa
"Karena mungkin dia pun masih be/ajar. Takut salah mengajarimu, biarkan dia menjadi baik, kau dukunglah usahanya.
"Aamir dianggurin, aku dianggurin.Apa aku harus jadi baton dulu, biar kalau pecah dia genggam aku erat-erat?
Hari terus berjalan, aku tak kuat lagi.Aku utarakan keluh kesahku sambil menangis. Mas Aris yang kukenal memiliki jiwa temperamen, biasanya tak suka mendengar tangisan.Dia akan emosi.
Tapi kali ini dia memelukku, meminta maaf. Dia senang aku 'minta diajak' menuju balk bersama.
"Mbi, aku sedang belajar. Insyaallah semua untuk kita, masa depan kita. Kebaikannya untuk kamu, untuk Aamir. Bersabar ya, Sayang."
"Artis ltu cantik ya pakal jilbab,N ujarnya disuatu kesempatan menonton TV bersama.
Dia mencoba memberiku kode-kode ringan. Tldak hanya artis dia acap memuji perubahan kerabat atau perempuan yang kita kenal ketika mereka bertransformasi mengenakan hijab.
Hmmm... daripada muji artis atau orang lain, kenapa bukan aku saja yang menyenangkan matanya, batinku. Aku segera menghubungl mama dan memintanya mengirimkan beberapa perlengkapan hijab, seperti ciput, manset, kerudung segi empat dan beberapa jilbab instan. Pelan pelan kukumpulkan tutorial vlogger mengenai cara berhijab yang kekinian.
Sampai akhirnya aku mantap memutuskan untuk berhijab. Aku mulai belajar mengenakan jilbab kaus, jilbab segiempat, pashmina, kucoba semua.
Bukan main senangnya dia melihatku menutup aurat, dia kerap memujiku.
Akupun gembira melihatnya senang.
Mungkin ini pula lah kesalahan besarku, aku salah niat dari awal. Transformasiku mungkin bukan purely didasari karena Alloh.
Aku hanyut dalam cinta terhadap makhlukNya. Aku terlalu fokus memikirkan bagaimana menyenangkan Mas Aris.
Namun demikian aku terus berusaha mem· perbaiki diri, melunakan hatiku dan ikut belajar bersamanya. Jujur aku senang bisa belajar bersamanya, karena inllah yang kuinginkan bisa merasakan apa yang la rasakan, bisa ikut masuk kedalam setiap dunianya.
Dia mengundang ustadz untuk kajian bersama teman teman, dari rumah ke rumah, juga di kantor.
Aku menikmati terlibat dalam keglatannya.
Kami sama-sama belajar. Mas Aris yang cenderung berwatak keras berubah menjadi lebih lembut, lebih mudah diajak berdialog. Dia mulai aktif menggalang komunitas pengglat dakwah di daerah kami.
Semangat belajar Mas Aris dan teman-temanya masyaal/ah luarbiasa. Kamiyang merupakanminoritas, di sini merasakan persaudaraan sangat kokoh. Kami saling menguatkan dan saling mendoakan.
Tapi, Mas Aris semakin sibuk.
Ada rasa sepi yang harus aku bayar.
***
This is a non-benefit site to share the information. To keep up this site, we need your assistance.
A little gift will help us alot.alert-info
Post a Comment