Saat diceritakan tentang sosok Mbah Nyai Rodliyah Ploso beberapa waktu lalu oleh salah satu dzurriyah Ploso, saya hanya bisa tertegun dan tergagu. Pasalnya, manusia-manusia "mastur" yang berada di balik layar seperti Mbah Nyai Rodliyah memiliki peran begitu krusial di tengah kebesaran sebuah pondok pesantren.
Menjadi Ibu Nyai baik saat Mbah Djazuli masih sugeng maupun seusai kewafatannya sangatlah tidak mudah, apalagi di awal-awal Yai Djazuli merintis pesantren. Selain diserahi membimbing putra-putri buah pernikahannya dengan Yai Djazuli juga dituntut untuk mengasuh para santri sepeninggal Mbah Djazuli wafat.
Berikut adalah poin-poin keteladanan beliau yang layak dicatat dan dicermati:
Pertama Secara ekonomi, Mbah Nyai adalah sosok perempuan tangguh dan mandiri karena beliau tak segan-segan berdagang apapun untuk mencukupi keperluan sehari-hari. Bahkan putra-putranya diberi bisyaroh langsung oleh Mbah Nyai selama mengajar di pesantren meskipun pesantren tersebut milik ayah mereka sendiri. Apalagi saat Mbah Djazuli mulai sepuh, semua kebutuhan keluarga Mbah Nyai Rodliyah yang menanggung mengingat Mbah Djazuli sendiri sangat gigih dalam mengajar.
Bagi beliau, tekun atau sungguh-sungguh (mempeng) adalah kunci utama. Mbah Djazuli sendiri mempunyai prinsip yang selalu ditanamkan, yaitu:
افضل الطُرق الى الله طريقة التعليم والتعلُّم
"Sebaik-baik thariqah menuju Allah adalah belajar dan mengajar".
Menurut sumber keluarga terdekat, saking cintanya dengan ilmu Yai Djazuli pernah mengajar ngaji hingga 18 kitab dalam sehari. Mbah Nyai sendiri pernah dawuh, yang intinya meminta Yai Djazuli agar fokus mengajar para santri saja sedangkan urusan lainnya Nyai Rodliyah yang akan selesaikan (khususnya kebutuhan dan keperluan keluarga). Support luar biasa yang dilakukan Nyai Rodliyah terhadap suami yang ahlu ilmu seperti ini sangatlah tidak mudah dan gampang dikerjakan oleh seorang perempuan pada umumnya.
Kedua Secara andhap asor (etika), beliau selalu berbahasa kromo inggil (jawa halus) kepada putra-putrinya. Hal ini beliau praktekkan sebagai bentuk hurmat beliau kepada Mbah Djazuli yang dzul ilmi meskipun itu putra-putranya sendiri. Pernah diceritakan, ada wali santri asal Pasuruan namun masih dzurriyah Lasem.
Saat memondokkan putranya di Ploso respon Mbah Nyai sangatnya spesial layaknya sedang kadatangan orang penting, hanya karena orang tersebut masih terhitung cucu dari Nyai Masfuriyah (kakak perempun dari Mbah Baidhowi).
Hal ini tidak lepas dari ikatan guru dan murid antara Mbah Baidhowi dan putra-putranya saat dulu pernah mondok di Lasem. Seakan beliau sedang mengajarkan kepada kita tentang sikap tawadhu' dan ihtiram kepada guru/kiai dan termasuk di dalamnya "wa ma nusiba ilaihim" yakni, apa-apa yang dinisbatkan ataupun tersambung kepada mereka, sebab ini adalah kunci keberkahan. Sekali lagi, adab seperti ini juga tidak gampang dijalankan bagi mereka yang kadung biasa dimulaikan banyak orang.
Ketiga Secara Kedisiplinan, beliau tak bosan-bosan menegur dan mengingatkan jadwal ngaji putra-putranya termasuk para guru yang turut khidmah mengajar di pondok. Saat beliau melihat atau mendengar putranya ada yang absen mengajar, maka suaranya akan meninggi dan setengah menghardik. Kalau sudah seperti itu, maka Yai Din atau Yai Dah akan kalang kabut dan bergidik merasa takut dan sungkan. Bahkan saat Yai Djazuli melaksanakan jamaah sholat bersama para santri, Nyai Rodliyah tak canggung ikut oprak-oprak santri yang mbangkong di kamar dan itu dilakukan hampir setiap hari. Lagi-lagi, hal ini juga tidak ringan untuk dikerjakan.
Keempat Secara spiritual, wirid Mbah Nyai tidaklah panjang-panjang. Namun seperti yang dituturkan salah satu cucunya, meski tak terlalu panjang namun beliau selalu ajeg wirid dan maos al-Qur'an setelah melaksanakan sholat maktubah. Bahkan ada yang menuturkan jika kehidupan harian beliau terkesan sangat monoton, tapi nilai istiqomah inilah yang kemudian menjadi salah satu bentuk tirakat beliau.
Pernah satu waktu Nyai Rodliyah dawuhan: "Cah santri tugase ngaji, aku sing bagian nirakati". Tak heran jika kelak di kemudian hari Ploso menjelma menjadi salah satu pesantren yang cukup diperhitungkan. Hal ini tidak bisa lepas dari hasil kerja keras, kesabaran dan berkah riyadhoh beliau. Hal seperti ini juga tidak semua orang mampu menjalankan.
Akhiron...
Teladan indah Nyai Rodliyah belum semuanya dapat terangkum, masih begitu banyak narasi tentang beliau yang tak sempat tertulis di sini. Namun yang jelas, harus diakui (mau tidak mau) bahwa kebesaran al-Falah hari ini tidak bisa dipisahkan dari peran perempuan seperti Mbah Nyai Rodliyah. Ketangguhan putra-putri serta para dzurriyah beliaupun tidak luput dari tangan dingin beliau. Saya sendiri termasuk golongan yang meyakini, bahwa di balik poro piyantun kakung yang tangguh terdapat sosok-sosok perempuan sederhana yang tak kalah sangarnya meski kadang tak terlihat oleh mata awam.
Semoga kita termasuk yang tetap "merunduk" dan menjaga adab kepada orang-orang sholih meskipun kedudukan hebat telah disandang, jabatan tinggi telah dipegang (sundul langit sekalipun). Semuanya akan sia-sia tak bermakna jika masih memandang sebelah mata sosok perempuan-perempuan tangguh di balik layar seperti Nyai Rodliyah, ibu dari para pejuang ilmu yang tersebar di penjuru persada.
Kagem Simbah Nyai Rodliyah Djazuli, Lahal fatihah...
Post a Comment